My Sweet Gallery

Jumat, 09 November 2012

Kemandirian Anak Kos................

Anak kost seringkali identik dengan mie instant, tidur larut malam mengerjakan tugas, dan terkadang mesti menahan rindu pada keluarga. Di balik semua itu ada beragam pembelajaran yang didapat, dan itu adalah pengorbanan untuk meraih kemandirian. Namun di zaman ini anak kost sudah tidak serupa dengan era 90-an. Segala fasilitas kini hadir dalam kemewahan. Apa yang perlu dicermati dari anak kost masa kini? Lalu, benarkah mandiri hanya akan didapat dengan tinggal di kost? Seberapa besar tantangan yang mereka hadapi?

                 Tahun 2010 ini, Electronic Arts (EA) – salah satu penghasil produk multimedia – kembali merilis beberapa games elektronik ke pasaran. Itu masih dari satu perusahaan. Bisa dibayangkan seberapa banyak yang membanjiri pasar apabila seluruh produk perusahaan sejenis digabungkan. Tentu saja hal ini disambut baik oleh para gamer di seluruh dunia.
Dalam 15 tahun terakhir, games elektronik bertumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Lahan bermain yang luasnya terus berkurang setiap tahun semakin mengukuhkan games elektronik sebagai alternatif pilihan rekreasi. Cukup dengan membeli game console dengan seluruh perlengkapannya ditambah dengan CD, DVD, memory card, atau media penyimpanan lainnya; suatu aktivitas bermain (baca: rekreasi) dapat dilakukan tanpa membutuhkan arena yang luas. Games elektronik tidak hanya dimainkan oleh masyarakat di perkotaan, bahkan telah mencapai seluruh pelosok negeri. Dari sisi gamer – tanpa membandingkan persentasenya – permainan ini tidak hanya dilakukan oleh anak-anak, tetapi oleh segala usia. Saat ini, sangat mudah menemukan games elektronik dimainkan di kamar-kamar kost. Apabila tidak mampu membeli game console terbaru, seorang mahasiswa yang memiliki PC (personal computer) hanya membutuhkan joystick untuk bermain. Bila ingin tampilan gambar yang lebih baik, maka mereka bisa mendapatkannya dengan mengganti graphic card-nya. Seiring pertumbuhan games elektronik, internet pun kian marak. Teknologi yang diciptakan oleh ARPU ini terbukti menawarkan banyak hal yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Selain fasilitas standar berupa kamar dan perlengkapannya, banyak rumah kost yang memberikan internet sebagai nilai lebih yang mereka tawarkan untuk memikat perhatian mahasiswa agar memilih rumah kost mereka. Dengan seluruh fasilitas yang terdapat di kamar-kamar kost tersebut, bukankah prestasi mahasiswa sekarang harus jauh lebih baik daripada generasi-generasi sebelumnya? Sebagian besar dari manusia Indonesia “belum memanfaatkan teknologi”. Segala biaya yang dikeluarkan untuk memainkan games elektronik merupakan salah satu bukti, bahwa manusia “masih dimanfaatkan oleh teknologi”. Kepuasan memang bisa dipenuhi oleh games elektronik; tetapi apabila tidak dikendalikan dengan benar, dampak yang terjadi adalah perilaku konsumtif dan ketergantungan.
Kondisi “masih dimanfaatkan oleh teknologi” di Indonesia juga berlaku dalam penggunaan internet. Tidak bisa dimungkiri, sebagian besar pengguna hanya memakai internet untuk chatting, mengecek email, mengunduh lagu atau film, dan membuka situs jejaring sosial. Padahal masih banyak fasilitas lain yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan dari jaringan yang menyatukan dunia secara maya ini. Orang bisa memasarkan produk dan jasanya melalui internet hampir tanpa biaya, grup-grup musik menggunakan internet untuk memperkenalkan musik yang mereka mainkan, dan para penulis menyebarluaskan pemikirannya melalui internet. Satu hal yang tidak kalah penting adalah setiap orang bisa mendapatkan informasi, ilmu, dan pengetahuan dari seluruh penjuru dunia. Keadaan ini seharusnya bisa berubah, dan mahasiswa merupakan pelopor dan pelaku yang tepat untuk melaksanakan perubahan itu. Sebagai homo ludens, tidak ada yang salah ketika mahasiswa bermain games elektronik. Mereka hanya membutuhkan sedikit usaha dan kecerdikan untuk mengubah konsep bermain. Sebagai suatu contoh, pada awal dasawarsa ini, sebuah games elektronik yang berjudul “Capitalist” diperlombakan dan hadiah yang ditawarkan kepada pemenangnya sangat besar. Selain sebagai permainan, “Capitalist” merangsang setiap gamer untuk menyusun dan menjalankan strateginya, tidak cukup hanya dengan keahlian bermain, tetapi juga melibatkan ilmu dan pengetahuan. Mahasiswa juga dapat menggabungkan kegairahan bermain dengan teknologi jaringan. Setelah era Age of Empire yang sangat fenomenal, disusul oleh Nexia, Counter Strike, Ragnarok, dan game elektronik yang terintegrasi dengan situs jejaring sosial; online games semakin berkembang. Online games sangat bervariasi, termasuk di dalamnya adalah bermacam-macam simulasi. Saat ini bermacam-macam simulasi bisnis tersedia di internet, baik yang dikompetisikan, maupun hanya simulasi biasa. Simulasi ini meliputi banyak hal, keuangan, pemasaran, operasi, SDM, R&D, teknologi, sosial, dan bisnis secara keseluruhan. Beberapa mahasiswa Indonesia telah berhasil memenangkan kompetisi simulasi ini. Hadiah yang mereka terima tidak hanya sekadar uang dan barang, sebagian bahkan akhirnya bekerja di perusahaan penyelenggara kompetisi. Tidak ada yang tidak mungkin. Dari kamar kost, dengan seluruh fasilitas yang tersedia di dalamnya, seorang mahasiswa bisa belajar, bermain, dan berinternet, sekaligus mengejar kesempatan-kesempatan yang tersedia di luar kamarnya.


Nasib anak kost…”, begitulah judul sebuah lagu parodi lawas yang diadaptasi dari sebuah lagu luar negeri. Liriknya terasa „nendang‟ alias mewakili apa yang selalu dialami sebagian besar anak kost saat lagu itu populer. Pada kenyataannya isu seputar apa yang dialami oleh anak kost tak hanya diangkat dalam obrolan-obrolan antar sesama anak kost saja. Dalam ruang diskusi dan ceramah-ceramah ibadat keagamaan pun „anak kost‟ menjadi bagian di dalamnya.
Namun sayangnya, yang diangkat hanya seputar kiriman uang dari orang tua dan pola makan (mie instan). Padahal, ada beragam perspektif yang bisa dicermati dari „nasib anak kost‟. Bahkan menjadi bahan pembelajaran bagi para orang tua, anak kost, anak rumahan, institusi pendidikan, juga masyarakat. Tentu saja, anak kost sekitar abad ke-20 akan berbeda dengan anak kost abad ke-21. Entah dari sisi anggaran, tempat kost dan fasilitasnya, sosio-kultur lingkungan (trend and life style), perkembangan teknologi, maupun kebijakan-kebijakan pemilik kost, institusi pendidikan, serta pemerintahan setempat yang harus dipatuhi oleh anak kost dan juga pemilik kost. Memangnya kenapa dengan anak kost? Apakah ada perbedaan dasar dengan non anak kost alias anak rumahan? Jika kita membandingkan kehidupan anak kost dengan anak rumahan sebenarnya ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Anak kost memiliki kecenderungan untuk menjadi mandiri. Hal ini disebabkan keterpisahan dirinya dengan keluarga (orang tua), sehingga suka-tidak suka, mereka harus mencari cara, dalam arti kreatif, bagaimana menghadapi berbagai tantangan serta persoalan yang ada seorang diri. Tentu saja, mereka memiliki „keluarga baru‟ seperti rekan-rekan satu kost, teman kuliah atau orang-orang yang akrab dengan mereka (pacar, dsb.) Keluarga baru inilah yang biasanya menjadi tempat sharing mereka, walhasil mereka pun „belajar‟ memecahkan persoalan dengan cara mereka sendiri.
Namun tak semua anak kost berhasil menjadi mandiri, karena pola asuh dan pola didik orang tua atau lingkungan asal mereka yang kelewat memanjakan sehingga mereka cenderung menjadi ketergantungan pada keluarga dan mengandalkan orang lain. Kelompok ini biasanya membawa kebiasaan-kebiasaan dari tempat asal mereka dan kurang bisa beradaptasi. Kecenderungan yang muncul antara lain: malas bersih-bersih, pakaian kotor yang menumpuk, bergaya nge-bos (maunya dihargai tapi tak mau menghargai orang lain), bahkan naif dalam praktik keberagamaannya. Sisi lain dari „nasib anak kost‟ adalah pola makan yang kurang terjaga. Ini biasanya menjadi tragedi manakala mereka berada pada fase kesibukan dengan tugas kuliah atau masa-masa tugas akhir. Umumnya makanan anak kost cenderung dikaitkan dengan mie instant, yang memang dalam soal kecukupan gizi tak memadai bahkan tak layak untuk dikonsumsi para mahasiswa yang notabene adalah generasi penerus bangsa ini. Risiko mengalami buruknya kesehatan diri pun menjadi taruhan dalam kehidupan mereka. Apalagi jika pasokan uang dari orang tua tersendat, maka lengkaplah penderitaan mereka. Meski demikian, jika kita memantau kondisi anak kost zaman ini akan jauh berbeda. Dulu, dalam ruang kost-kostan mereka yang kecil, hanya ada meja belajar, lemari pakaian, tumpukan buku dan berkas fotocopy, radio kaset serta beberapa album kaset favorit, dan sebuah ranjang tidur, itupun sangat sederhana. Orang tua mereka pun membekali uang saku secukupnya dan mengirimkan uang kuliah dan biaya hidup melalui wesel yang kadang terlambat karena kesulitan ekonomi. Dan bekal paling berharga bagi mereka adalah doa yang tak putus-putusnya agar si anak berhasil menyelesaikan studinya dengan memuaskan serta menjadi kebanggan keluarga. Kini semuanya berubah dalam sebuah ruang agak luas yang lumayan harga sewanya, bisa kita dapati seperangkat PC/laptop/netbook beserta koneksi internetnya, tumpukan compact disc (CD/VCD/DVD), hand phone, dispenser, TV, portable player, dalam merek dan model yang up-date. Pola konsumsinya pun gaya American Style alias fast food. Dan tak tanggung-tanggung, si orang tua membekali mereka tak hanya dengan transfer uang sesuai permintaan via ATM, jika perlu memiliki credit card pribadi, juga sebuah mobil baru dengan alasan supaya tak kepanasan dan kehujanan. Nyaris seperti para anggota DPR di negeri ini yang serba difasilitasi, meski kinerjanya dipertanyakan. Tipe anak kost seperti ini tak beda jauh dengan perilaku anak rumahan. Tak sedikit juga anak rumahan yang mandiri, hidup sederhana, serta lulus beradaptasi dengan lingkungan dan mampu menghadapi situasi sulit. Jadi, masalahnya bukan apakah dia anak kost atau rumahan, melainkan bagaimana pola asuh dan pola didik serta sosio-kultur lingkungan yang membentuk karakter mereka. Itu yang penting menjadi perhatian para orang tua, masyarakat serta pemerintah. Semoga. Dommy Waas


Tuliiitt..tulilitt… “Halo…”
“Heh kamu tuh dimana sih? Ini udah masuk dosennya! Cepet dateng, slide presentasinya kan ada di kamu!” Teriak temanku diseberang sana lewat handphone. Dengan muka kucel, terpaksa aku berjingkat dari kasur menuju kamar mandi hanya untuk cuci muka. Tak terpikir lagi untuk mandi. Terlambat sudah.
Itu salah satu pengalaman yang mungkin dialami oleh semua anak kost-an. Kesiangan bangun karena begadang semalaman mengerjakan tugas. Tidak hanya itu, kehabisan uang yang berujung pada pengiritan makanan, hidup kesepian seakan kurang kasih sayang, sampai pada pergaulan nyeleneh, hampir semuanya dialami. Pandangan buruk dan baik pun terbesit di pikiran orang tua mereka. Bagaimana keadaan anak saya? Apakah pergaulannya benar? Uang yang dikirim cukup atau tidak? Bagaimana kuliah atau pekerjaannya? Pertanyaan itulah yang muncul dibenak orang tua. Sedangkan anak kost-an sembari menjalankan kuliahnya, berfoya-foya dengan uang kiriman sampai pada akhir bulan berujung pada pengiritan, hidup merasa bebas dari kekangan orang tua, belajar menjadi mandiri, dan belajar mengatur hidupnya. Tak pelak banyak pikiran buruk dari sebagian orang tua yang tidak mau memasukkan anaknya ke kost-an, mereka lebih memilih untuk tinggal dengan saudara atau kenalan. Kost-an itu dianggap sebagai pengaruh buruk bagi anak terutama dalam pergaulannya. Dengan tinggal di kost, anak tidak bisa dikontrol. Apalagi kalau terjadi apa-apa, sakit misalnya, sulit untuk meminta tolong atau menjaga si anak kepada orang lain. Itu baru pandangan dari orang tua. Belum lagi penilaian dari orang sekitar. Di salah satu milis, saya menjumpai penilaian salah satu orang yang mengatakan bahwa anak kost itu tidak jelas identitasnya. Masih ingat dengan peristiwa penyerbuan teroris di daerah Ciputat? Mereka juga menginap di kost-an. Belum lagi banyak berita mengenai narkoba dan seks bebas. Makinlah kekhawatiran penduduk sekitar maupun orang tua bertambah.
Perilaku bebas yang kemudian disalah-artikan oleh beberapa mahasiswa berdampak buruk bagi dirinya sendiri maupun temannya. Memang dengan “ngekost”, mahasiswa bisa lebih bebas melakukan apa saja tanpa khawatir larangan orang tua yang tinggal jauh. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan tanggung jawab. Kebebasan yang kebablasan tentunya sudah jauh artinya dengan kemandirian.
Edisi IX : Nasib Anak Kost
Copyright © 2010 www.fokal.info

Biasanya mahasiswa mengartikan kebebasan sebagai gerbang menuju kemandirian, tetapi kebebasan tidak disertai perilaku bertanggung jawab akan sama saja dengan liar. “Aku sebenarnya punya saudara di Bandung, tapi aku maunya ngekost karena selain tidak mau merepotkan saudara juga mau belajar mandiri,” kata Tia mahasiswi Fakultas Farmasi Institut Teknologi Bandung. Menurut BF. Skinner, perilaku mahasiswa jika dihubungkan dengan perilaku sosiologinya akan terbentuk sesuai dengan lingkungan sosialnya. Maka dari itu, lingkungan kost-an atau tempat tinggal mereka akan sangat berpengaruh terhadap perilaku mahasiswanya. Jika faktor lingkungan kondusif dalam berkembangnya seks bebas, pemakaian narkoba, dan segala pergaulan yang kebablasan itu, maka anak yang tinggal di kost-an itu juga bisa terpengaruh. Selain lingkungan, kepribadian atau pendirian seseorang bisa membuatnya dapat bertahan terhadap pengaruh lingkungan yang negatif. Orang seperti ini dapat membedakan mana yang baik untuk dirinya dan mana yang merusak. Sebenarnya “ngekost” itu banyak manfaatnya, terutama untuk anak muda. Kita dapat belajar mandiri, karena selain dapat mengatur gaya hidup masing-masing dan juga dapat mengatur waktu dan kegiatan. Sikap bergantung pada orang lain dapat berkurang karena tinggal jauh dari orang tua. Tanggung jawab dan pembentukkan moral serta karakter dimulai juga dari sini. Manfaat lainnya adalah belajar untuk bersosialisasi dan menghargai orang lain. Tinggal di tempat orang lain membuat kita harus mengenal orang baru dan berbaur dengan mereka. Hal itu bukan hal yang mudah. Mengenal, mengetahui kepribadian, dan menghargai perbedaan semua orang yang ada di kost-an termasuk induk semang merupakan hal penting. Dari situlah sifat kekeluargaan akan terbentuk. Setelah sikap menghargai tumbuh, kita seperti merasa memiliki keluarga kedua, yaitu keluarga kost-an, selain yang ada dirumah. Nah, sekarang kita telah mengetahui berbagai pendapat mulai dari yang buruk sampai bermanfaat tentang kost. Kita harus juga dapat memilih kost-an mana yang lingkungannya baik dan tidak. Usahakanlah untuk memilih kost-an yang tidak campur gender (campur antara laki-laki dan perempuan), punya peraturan yang jelas sehingga identitas orang yang tinggal dikenali (biasanya awal masuk kost-an akan dimintai identitas seperti KTP), dan memiliki induk semang. Walaupun kelihatannya masih agak mengikat karena ada peraturan yang harus dipatuhi dan ada induk semang yang selalu mengawasi, tetapi hal itu dapat membantu kita untuk terhindar dari hal-hal negatif. OK! Jadi siapa nih yang sudah siap menjadi seorang mandiri? Contasia Christie
* Mahasiswa Jurnalistik Unpad
Edisi IX : Nasib Anak Kost
Copyright © 2010 www.fokal.info


Ekonomi - Manajemen Keuangan ala Anak Kost
Kehidupan anak kost seringkali diidentikkan dengan kebebasan. Bahkan beberapa orang memilih kost sebagai tempat tinggal dengan alasan tersebut. Padahal kebebasan anak kost sebenarnya berbanding lurus dengan tanggung jawab.
Bila kita membicarakan kehidupan anak kost seringkali hal yang terlontar adalah mengenai masalah keuangan. Zaman dahulu anak kost seringkali digambarkan hidup pas-pasan dengan dengan ekonomi yang secukupnya. Bahkan seringkali tidak makan demi menghemat uang. Namun saat ini kebanyakan anak kost sudah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Tempat kost yang mewah kini sudah bukan hal yang luar biasa. Bila standar hidup anak kost terlihat naik bukan berarti masalah keuangan tidak lagi menjadi masalah. Bagaimana mengatur uang tetap menjadi persoalan klasik di kehidupan anak kost. Kebebasan yang dimiliki anak kost seringkali berkaitan dengan masalah gaya hidup. Gaya hidup yang semakin tinggi menuntut untuk menghabiskan uang lebih banyak. Alasan tidak mau terlihat ketinggalan zaman atau kuno hingga akhirnya kesulitan bergaul menjadi alasan untuk menggunakan uang demi gaya hidup. Padahal masih banyak keperluan lainnya yang haris dipenuhi. Meski pemasukan dari orang tua sudah mencukupi bahkan berlebih, anak kost sering kehabisan uang sebelum waktunya. Kebutuhan primer dan sekunder bahkan tersier menjadi rancu karena sulitnya membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Kebutuhan anak kost yang utama pada dasarnya adalah makan, transportasi dan biaya kuliah. (bagi beberapa orang uang kost termasuk didalamnya). Beberapa kebutuhan yang dahulu termasuk tersier saat ini mulai meningkat menjadi kebutuhan sekunder bahkan primer. Kebutuhan untuk komunikasi melalui internet dan handphone saat ini mulai termasuk sekunder atau primer bagi sebagian orang. Internet diperlukan dalam mengerjakan tugas. Padahal biaya internet dan pulsa cukup besar. Hal ini membuat bertambahnya kebutuhan anak kost.
Kebijakan dalam pengaturan keungan sangat diperlukan. Kemampuan untuk menahan keinginan dan membedakan antara berbagai jenis kebutuhan merupakan modal dalam mencapai manajemen keuangan yang baik. Pada awal menerima uang bulanan sebaiknya anak kost dapat menyisihkan dahulu uang untuk kebutuhan utama/rutin. Semakin banyak jenis kebutuhan yang dapat diperhitungkan sebagai pengeluaran rutin semakin mudah mengatur keuangan. Contohnya; jatah uang makan perharinya. Sehingga uang makan dapat diperhitungkan dengan baik. Begitu pula dengan uang untuk pulsa, transport dan sebagainya. Pengeluaran yang dikategorikan rutin dan utama ini dipastikandapat dipenuhi terlebih dahulu. Pembayaran bulanan pun dipastikan tidak terlambat sehingga tidak mendapat tagihan akibat penunggakan. Sisanya dapat  digunakan untuk kebutuhan tambahan atau pengeluaran tak terduga. Teknologi saat ini juga mendukung pengeluaran lebih banyak. Adanya kartu ATM di tangan dapat berdampak negatif. Anak kost dapat mengandalkan kartu tersebut untuk pembayaran secara debit tanpa terkendali. Akibatnya uang bulanan bahkan tabungan dapat secara tak terduga habis atau berkurang. Alangkah baiknya bila anak kost dapat menyimpan kartu ATM –nya di tempat yang sedikit tersembunyi atau bila yakin dapat meninggalkannya. Dompet pun dapat diisi dengan uang secukupnya. Sehingga tidak tergiur untuk mengeluarkan uang lebih dari seharusnya. Untuk keamanan, anak kost dapat menyimpan uang di tempat tak terduga yang digunakan dalam keadaan mendesak. Misalnya pada bagian tersembunyi dalam tas, diselipkan pada buku atau disimpan di dalam kotak pensil. Bagi beberapa orang rasanya mudah untuk menadahkan tangan ke orang tua namun tidak bagi orang lain. Belajar untuk hidup mandiri merupakan tantangan bagi anak kost. Apabila kebutuhan memang tidak dapat terpenuhi, anak kost dapat mencari tambahan uang. Namun tidak menutup kemungkinan uang hasil kerja dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan tambahan. Pengalaman yang diperoleh dapat memberikan bekal di masa datang. Selain itu anak kost lebih dapat menghargai uang yang diperoleh dari kerja keras sendiri. Setiap keputusan yang dibuat memiliki konsekuensi. Anak kost harus dapat mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri dalam memanfaatkan kebebasan yang diperoleh selama hidup sendiri. Ruth Dyah Ayu Shintawati *Alumnus Arsitektur ITB
Edisi IX : Nasib Anak Kost
Copyright © 2010 www.fokal.info

Budaya – Balada Anak Kost
                   "Aku Makan Tiap Hari Kadang Hanya Makan Mi
                                Gimana Nggak Kurang Gizi
                                Wesel Datang Tak Pasti
                                Ibu Kost Tak Mau Mengerti
                                Nagih Sewa Bulan Ini ..
                                Hidup Sangat Sedih .. Uhh"
Sepenggal syair lagu nasib anak kost yang dipopulerkan oleh Padhayangan Project pada era 90an menjadi gambaran yang cukup mengena bagi anak kost di masa itu. Namun kondisi ini bergeser di masa kini. Kalau kita perhatikan, kini istilah anak kost tak lagi mengenai kesengsaraan dan keprihatinan. Banyak rumah-rumah pemondokan macam indekost yang dilengkapi dengan fasilitas bak hotel berbintang. Lengkap dengan sistem kemanan canggih seperti CCTV dan fasilitas Wifi yang memudahkan para penghuni kost berkelana di dunia maya. Untuk fasilitas macam ini, banyak mahasiwa atupun para pekerja yang tak segan merogoh koceknya dalam-dalam, dan pastinya mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan finansial. Kata Indekost sendiri atau yang kini disingkat menjadi kost berasal dari bahasa Belanda indekost yang artinya tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan (dengan membayar setiap bulan); memondok. Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer kost berarti tinggal (menumpang) di tempat orang dan makan di situ; memondok. Kata indekost dalam Kamus Umum Belanda-Indonesia (1978) mempunyai arti numpang makan pada. Dalam bahasa Inggris, kata kost diterjemahkan sebagai boarding house. Dalam Oxford Advanced Learnerss Dictionary (2000); boarding house is a private house where people can pay for accomodation and meals. Artinya kost adalah sebuah rumah pribadi dimana orang lain dapat membayar untuk akomodasi dan makanan. Apapun pengertian ilmiahnya, satu hal yang selalu ada di kawasan pemondokan adalah keberagaman. Dalam satu wilayah kost kita pasti berinteraksi dengan berabagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda.
Tidak mudah memang beradaptasi dengan sekumpulan orang yang berbeda dengan kita. Itulah sebabnya, banyak penghuni kost yang memilih bersikap cuek untuk menghindari timbulnya perselisihan karena perbedaan pandangan maupun karakter. Akibatnya, terbentuklah sikap individualis antara penghuni kost. Sebenarnya sikap tak „pedulian‟ tidak perlu dilakukan asal kita tahu bagaimana beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Menjalin hubungan yang baik dengan sesama penghuni kost, dan pemilik kost penting dilakukan, karena teman kost anda akan menjadi seperti kerabat/saudara anda sendiri. Tetangga adalah kerabat terdekat anda bukan? Contoh kasus, ketika kita sakit, tak mungkin kita meminta orang tua kita yang jauh untuk datang dan merawat kita. Mau tak mau, penghuni kost-an lain adalah bantuan terdekat yang bisa kita dapatkan. Itulah sebabnya, mencoba bergaul dan mengakrabkan diri sewajarnya perlu dilakukan. Selain bisa mengantisipasi seandainya kita membutuhkan bantuan yang bersifat darurat, kita juga bisa mendapatkan info baru tentang lingkungan sekitar. Namun, kita juga harus bisa menjaga perilaku, jangan sampai mereka menjauhi anda karena sikap anda yang kelewat egois atau mencampuri urusan orang lain. Permasalahan lain yang sering timbul saat kita berusaha untuk mandiri adalah masalah keuangan. Pengalaman pribadi mengajarkan saya bahwa mengatur manajemen keuangan pribadi wajib dilakukan untuk mencegah kebocoran di pertengahan bulan. Ada baiknya untuk mengatur pengeluaran untuk hal-hal yang penting terlebih dahulu, buatlah prioritas dan budget untuk pengeluaran, jangan sampai kehabisan uang di tengah bulan, sementara anda belum gajian atau belum menerima uang kiriman dari orang tua. Hidup sendiri di kost-an mungkin bagi sebagian orang tidaklah mudah. Diperlukan adaptasi, keteguhan hati dan keberanian. Apalagi di zaman seperti sekarang dimana nilai-nilai sosial mulai bergeser. Tak jarang justru ketika seseorang mulai hidup mandiri, beberapa batas moral mulai begeser karena lingkungan. Banyak contoh kasus dimana kejadian asusila terjadi di kost-an. Mulai dari free sex, penggunaan obat-obatan terlarang dan praktek prostitusi. Maka dari itu, setiap insan yang hidup mandiri harus bisa memegang teguh nilai-nilai sosial dan moral yang ada di tengah masyarakat. Caranya bisa bermacam-macam, seperti mengikuti kegiatan keagamaan yang bisa mempertebal iman kita, atau melakukan kegiatan-kegiatan sosial baik di kampus ataupun di tempat kerja atau kegiatan positif lainnya. Selain itu, kita juga harus bisa memilih dengan siapa kita bergaul. Dengan berbagai macam latar belakang dan gaya hidup, kita perlu memilah, mana yang sesuai dengan nilai-nilai yang kita pegang dan mana yang tidak. Menjadi mandiri sebagai anak kost bukan berarti bisa hidup dengan kemauan sendiri tanpa ada batasan. Tanggungjawab sebagai bagian dari masyarakat tetaplah harus diutamakan. Ketika kita bisa bertanggungjawab terhadap diri sendiri, maka kita bisa bertanggungjawab untuk „skup‟ yang lebih besar lagi, termasuk tanggungjawab kepada masyarakat. Fanny Febiyanti *Alumnus Universitas Padjadjaran
Edisi IX : Nasib Anak Kost
Copyright © 2010 www.fokal.info

Hukum - Operasi Yustisi: Kebijakan Basi Ladang Manipulasi
“State and Government are the social apparatus of violent coercion and repression”
~Ludwig von Mises
               Berhubung FOKAL edisi kali ini mengangkat tema “Nasib Anak Kost”, maka ada satu hal yang perlu dibahas dan sudah tak asing lagi bagi anak kost, yaitu Operasi Yustisi. Status anak kost yang diemban oleh kawan perantauan yang sedang menempuh studi atau bekerja memang menjadi kesulitan tertentu. Karena dianggap sebagai pendatang, maka ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk tetap bisa berada di tempat tujuan. Pilihannya, membuat kartu tanda penduduk (KTP) lokal yang baru, atau membuat Kipem (Kartu Identitas Penduduk Musiman). Padahal, kebijakan ini sungguh merugikan anak kost, dan tentunya memperluas peluang korupsi yang sudah sedemikian akutnya di kalangan birokrat pemerintah daerah.
Operasi Yustisi memang memiliki dasar hukum, misalnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2004 yang ada di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Perda 7/2009 di Bandung, dan Perda 12/2007 di Cimahi. Namun pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan haruslah memiliki landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Ketika salah satu dari ketiga landasan itu tidak terpenuhi, maka peraturan perundang-undangan tersebut bukanlah sebuah produk hukum yang baik. Apakah kebijakan Operasi Yustisi telah sesuai dengan ketiga landasan diatas? Landasan filosofis (filosofische grondslag) Sebuah bangsa tentunya memiliki pandangan hidup yang disepakati bersama, sehingga mereka dapat berjalan dalam sebuah organisasi untuk mewujudkan visi mereka. Pandangan hidup inilah yang disebut dengan landasan filosofis. Mengapa disebut demikian? Pandangan hidup sebuah bangsa berisi nilai-nilai luhur yang sifatnya kualitatif sekaligus abstrak, sehingga bersifat filosofis dan mendasar. Indonesia sendiri memiliki Pancasila sebagai landasan filosofis bagi warga negaranya. Melalui Pancasila kita menyepakati “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, “Persatuan Indonesia”, dan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Operasi Yustisi sama sekali tidak memenuhi nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila, karena: 1) Operasi Yustisi justru mengenyampingkan kemanusiaan karena tidak memperbolehkan penduduk Indonesia yang tidak memiliki KTP lokal untuk berdiam di tempat itu; 2) Adanya Operasi Yustisi justru semakin meningkatkan level disintegrasi bangsa, karena kebijakan ini dapat dimaknai bahwa sebuah wilayah hanya boleh ditempati oleh orang-orang yang berada di dalamnya dan tidak menerima penduduk dari wilayah lain; 3) Operasi Yustisi telah melarang orang untuk bisa mencari nafkah di tempat yang layak, sehingga menghambat terwujudnya keadilan sosial.
                Landasan sosiologis (sociologische grondslag) Landasan ini menekankan pentingnya nilai-nilai dalam masyarakat dan tentunya kondisi riil yang terjadi di dalam masyarakat. Kita dapat melihat realitas, bahwa lapangan pekerjaan lebih banyak tersedia di daerah perkotaan, sehingga banyak warga yang berusaha mencari nafkah untuk menghidupi diri di wilayah yang lebih potensial. Kita ambil contoh Jakarta. Banyak pekerja yang berada di Jakarta bukanlah penduduk yang sejak awal berdiam di Jakarta, melainkan pendatang dari kota-kota satelit di sekitar Jakarta seperti Bogor, Tangerang, Depok, atau Bekasi. Para pekerja ini kemudian memilih untuk “ngekost” di Jakarta dengan pertimbangan efisiensi biaya dan efektivitas waktu menuju tempat kerja. Apakah hal ini tidak boleh dilakukan? Sementara di wilayah mereka sendiri, kesempatan kerja juga tidak sebanyak di Jakarta. Hal yang sama terjadi di Bandung, dengan wilayah-wilayah di sekitarnya seperti Cimahi, Kabupaten Bandung, dan lainnya. Seandainya penduduk dilarang mencari pekerjaan di wilayah perkotaan, apakah pemerintah dapat menjamin tersedianya lapangan pekerjaan di wilayah asal mereka? Dengan demikian, Operasi Yustisi juga tidak memenuhi landasan sosiologis. Landasan yuridis (juridische grondslag) Sebuah peraturan perundang-undangan tidaklah boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi (yang dijadikan sebagai dasar pembentukannya). Dalam konteks Keindonesiaan, UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang menjadi sumber dan dasar bagi semua peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, baik itu undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah. UUD 1945 sendiri telah mencantumkan pasal-pasal mengenai hak asasi manusia (HAM), misalnya hak untuk mengembangkan diri melalui pendidikan (pasal 28C), hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang layak (pasal 28D), hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif (pasal 28I). Dari ketiga pasal itu saja, Operasi Yustisi telah gagal untuk memenuhinya. Karena Operasi Yustisi telah secara tidak langsung melarang penduduk dari wilayah lain untuk melanjutkan pendidikannya di tempat yang lebih baik; melarang penduduk untuk mencari nafkah dan meningkatkan taraf hidupnya; dan tentunya memberikan perlakuan yang berbeda meskipun sama-sama berstatus sebagai warga negara Indonesia (WNI). Apalagi kalau kita lihat dari pasal 1 angka 1 UUD 1945 yang menyatakan: “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Operasi Yustisi itu sendiri tidak mencerminkan ciri dari Negara Kesatuan melainkan Negara Federal yang memang memiliki peraturan yang ketat mengenai perpindahan penduduk dari sebuah negara bagian ke negara bagian lain. Tak hanya gagal memenuhi ketiga landasan diatas, Operasi Yustisi justru menjadi sarang manipulasi para birokrat pemerintah daerah agar bisa memperoleh pendapatan tambahan melalui pembuatan Kipem bagi mereka yang terjaring operasi. Warga yang kebetulan tidak memiliki KTP lokal atau belum mendaftar Kipem, dipaksa untuk membayar denda yang jumlahnya sekitar Rp.50.000. Padahal jumlah sebesar itu tidaklah kecil bagi mereka yang memang belum memiliki pekerjaan yang mapan sekaligus menetap. Lalu, biaya yang katanya untuk pembuatan KTP atau Kipem itu pun tak jelas kemana alokasinya.
Permasalahan urbanisasi yang berakibat pada menumpuknya penduduk di sebuah wilayah memang menjadi masalah bersama. Namun problem ini tidak bisa hanya diselesaikan dengan kebijakan Operasi Yustisi belaka. Pemerintah Pusat dan Daerah harus bekerja sama untuk meratakan pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah sehingga mencegah terjadinya urbanisasi. Orientasi pembangunan pun hendaknya tidak bersifat Jakarta-sentris, karena tak selamanya sebuah kantor pusat ataupun pusat kegiatan harus dibuat di Jakarta atau kota besar lainnya. Semoga kutipan dari Ludwig von Mises di awal tulisan ini tak menjadi kenyataan di Indonesia (atau malah sudah?). Pirhot Nababan *Mahasiswa Fakultas Hukum Unpad
Edisi IX : Nasib Anak Kost
Copyright © 2010 www.fokal.info
Politik – Teratur, Langkah Awal Meraih Masa Depan
Ada beberapa hal signifikan yang membedakan antara anak kost dengan anak rumahan. Salah satunya, anak rumahan tidak diperkenankan pulang larut malam. Anak kost? Ada saja yang memiliki jam malam namun kebanyakan tidak memberlakukannya, walaupun si pemilik kost sudah berkoar-koar sejak awal. “Gini lho dek, disini paling lama pulangnya jam 10, supaya tertib.” Apalagi bagi mereka yang tidak tinggal berdekatan dengan ibu kostnya, bisa-bisa hari berlangsung terbalik, “pergi malam pulang pagi.” Kalau sudah begitu, apa yang terjadi? Seseorang dikatakan anak kost karena ingin hidup mandiri, mencoba menggapai mimpi dengan menekuni study atau pekerjaannya, dan tidak terlalu suka tergantung pada orang tua. Dalam kesehariannya, anak kost menentukan hidupnya sendiri, baik itu dalam mengambil keputusan untuk melakukan “ini dan itu”. Andai saja terpeleset satu kali, bukan tidak mungkin akan berulang hingga menjadi seorang anak yang tidak jujur terharap orang tua dan dirinya sendiri. Hal yang paling sering dilakukan dan digemari anak kost adalah “nongkrong”, baik itu bersama teman-teman kost ataupun rekan satu fakultas. Lebih dari itu, anak kost juga suka menikmati hari-hari secara berlebihan, begadang sampai subuh. “Gue tuh begadang buat ngerjain tugas, bos!” Pagi jadi malam, subuh berganti sore. Segala aktifitas berubah, hingga harus menahan kantuk saat dikelas, atau kembali menorehkan tambahan jadwal bolos. Menurut ilmu medis, begadang dapat menyebabkan beberapa hal, diantaranya; Emosi menjadi tak stabil, Sel tubuh rusak, Sel Imun berkurang, Stroke, Kanker Hati, Penyakit Jantung, Diabetes, dan Darah Tinggi. Para medis sangat menganjurkan supaya kita tidak terlalu banyak melakukan aktifitas di malam hari. Untuk satu atau dua kali tubuh kita masih memberikan toleransi. Namun kalau sudah menjadi kebiasaan, berbagai penyakit, baik itu dari lingkungan dan udara akan cepat berkembang dalam diri kita.
Dalam keadaann lain, begadang juga membuat pola makan menjadi tidak teratur, dan biasanya anak kost jarang sekali memperhatikan kebersihan makanan. “Kalo makanan sehat itu mahal bos, makan dipinggiran kan juga sama aja, lebih murah dan banyak lagi.” Tipes merupakan penyakit favorit anak kost, entah sudah berapa yang terdata di rumah sakit. Apa yang perlu dilakukan anak kost, supaya kebiasaan begadangnya mampu diminimalisir? Seberapa pentingnya hingga ia harus memutuskan begadang?
Edisi IX : Nasib Anak Kost
Copyright © 2010 www.fokal.info
Di dalam perkuliahan, banyak tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Dan biasanya itu terjadi saat dua minggu menjelang ujian akhir semester, termasuk juga pembuatan laporan praktikum. Kesemuanya menyita waktu dan pikiran. Sebagai mahasiswa yang harus mampu menyelesaikan study dengan tepat waktu, tekad untuk mengerjakan tugas dengan teratur menjadi keharusan. Kalau hari ini ada tugas dari dosen, sebaiknya langsung dikerjakan. Sebab akan banyak tugas-tugas lain yang akan berdatangan. Itu yang pertama, membuat tekad dalam diri. Apapun keadaannya, study nomer satu!. Kedua, mengurangi waktu nongkrong. Disadari atau tidak, hal ini menyebabkan waktu banyak terbuang. Bukan berarti tidak boleh kongkow bersama teman, hanya saja kita terlalu sering lupa waktu. Hingga sampai di kost larut malam dan sudah tidak bersemangat untuk belajar. Waktu untuk ini harus di atur sebaik mungkin. Ada pepatah mengatakan “bukan waktu pertemuan yang terpenting, tapi kualitas pertemuan itu yang lebih utama.” Jadi, ndak perlu terlalu lama. Ketiga, menjaga waktu tidur. Saat tidur yang dianjurkan oleh dokter berkisar antara jam 21.00 wib sampai dengan 22.00 wib. Mungkin sulit untuk membiasakan diri tidur dalam jam tersebut. “Kan jam segitu, tuh, film di TV lagi bagus-bagusnya!” Dalam hal ini, kita mesti berusaha menahan selera, atau mungkin dengan terlebih dahulu melihat jadwal kuliah dan tugas-tugas yang ada. Jika waktu memungkinkan, sesekali bolehlah kita menikmati tayangan film tersebut. Namun hati-hati kalau sudah menjadi kebiasaan. Menjadi seorang anak kost yang “teratur” membutuhkan komitmen dari dalam hati. Mengusik kesadaran kalau hari-hari di masa muda akan menentukan apa yang menjadi masa depan kita. Obama membangun mimpi ke gedung putih selama 20 tahun, memulainya dengan menjadi pengacara, bergaul dengan berbagai kalangan, dan ia mampu mengatur waktunya bekerja dan istirahat. Bagaimana dengan kita? Apa yang perlu kita bangun dari sekarang? Tidak ada kata terlambat, semua mampu dibenahi asalkan kita mau konsisten. Masa depan mu indah kawan, raih dan rebutlah kebanggaanmu! Dommy Waas *Aktivis Muda GKI
Edisi IX : Nasib Anak Kost
Copyright © 2010 www.fokal.info
Profil – Otodidak Bersama Teman Kost-an Mandiri, bebas, punya banyak teman. Itulah beberapa manfaat yang dirasakan oleh anak-anak kost-an. Ada hal lain lagi ternyata yang bisa diambil lho, yaitu belajar bersama. Bagaimana sih ceritanya Nurdiana yang kerap disapa Mas Nur selama ngekost di Jogya? Gimana sih ceritanya bisa ngekost di Jogyakarta? Dulu aku ngekost bukan di kota Jogya sebenarnya, tapi di Bantul. Jadi akses atau prasarananya masih susah, makanya aku ambil kost-kostan yang dekat kampus. Kalau sekarang namanya Universitas Mercubuana. Kenapa pilih ngekost daripada tinggal di tempat saudara? Kalau bolak-balik dari kampus ke rumah saudara terlalu jauh, sekitar sepuluh kilometer. Sarananya kan juga tidak menunjang. Lalu dikost itu menurut aku lebih enak saja karena sebagian besar mahasiswa disana adalah pendatang dari luar Jawa, jadi bisa mengenal mereka. Ada kisah unik tidak yang pernah dialami selama ngekost? Ada yang menarik, tapi sedih dan menyenangkan. Yang paling dirasakan ya ada rasa bertanggung jawab dalam perkuliahan maupun lingkungan sehari-hari, belajar mengurus diri sendiri, dan masih banyak lagi sampai-sampai yang paling memprihatinkan pernah dilewati juga. Seperti kalau uang kiriman sudah habis harus mengirit sambil nunggu kiriman berikutnya, otomatis jadi belajar menggunakan uang. Nah, tapi aku sama teman-teman se-kost-an sering berinisiatif supaya tetap dapat memenuhi kebutuhan sampai uang kiriman datang. Sekarang kerjanya sebagai apa? Karena dulu mengambil jurusan ekonomi pembangunan dan teman-teman satu kost semuanya teknik. Justru setelah lulus bidang saya malah lebih condong ke teknik dan tidak ada hubungannya dengan jurusan saya. Sekarang kerjanya di bidang angkat alat-alat berat di salah satu perusahaan swasta. Di perusahaan ini justru membutuhkan tenaga kerja dalam bidang teknik dari sinilah aku mulai belajar lagi walaupun masih suka ngeblank kalau masalah alat-alat. Apa sih manfaat ngekost yang berguna sampai sekarang?
Yang tadinya ngekost berteman dengan anak-anak teknik, jadi saat kerja kebawa. Dari yang tidak mengenal komputer, alat-alat teknik, dan lainnya akhirnya membuat aku belajar otodidak dari mereka. Lagipula ilmu mereka juga sebagian besar didapatkan dari otodidak bersama bukan dari kuliah saja. Makanya kita bisa berkembang bersama karena kita sering sharing atau debat sampai kadang tidak ada ujungnya. Selain itu aku juga dapat manfaat untuk belajar bertanggung jawab. Bukan hanya buat diri sendiri, tapi juga pemilik rumah kost-an. Kita biasanya punya rasa ingin bantu mereka karena selama ini tinggal dalam satu rumah, begitu juga sebaliknya, kita sering dibantu. Orang itu juga baik, sampai sekarang masih punya keinginan untuk balik kesana dan memberikan sesuatu ke dia. Sewaktu aku lulus pun dia tidak hanya cuek saja, tapi dia memberikan semangat buat kita supaya saat kerja nantinya harus sukses. Mau tidak mau rasa tanggung jawab dari kata-kata yang dilontarkan pemilik kost itu seperti cambuk


Tanya Jawab – Suka Dukaku Ngekost Ngekost adalah alternatif pilihan mahasiswa untuk tinggal sementara di suatu tempat. Dari berbagai tanggapan positif maupun negatif tentang ngekost, masih tetap saja kost-an laku. Tidak ayalpun berbagai pengalaman menarik dialami penghuninya. Apa saja ya suka-dukanya ngekost?


( Amra Maulana, UIR Jurusan Psikologi, Pekanbaru)    Dulu aku ngk pandai nyuci baju, mau pun CD ku...sekarang udah bisa...Ibu ku cukup bangga terhadapku............aku sekarang sudah bisa mandiri...walaupun sering sedikit menyusahkan Abang Ku  " Dody red".. Untuk Buat tugas ku... Thanks my brother......................IPK Cukup.untuk mencari Kerja........itu kata My Brother.....Pak, Mak..........Doain Amra ya mak.......Supaya Selalu dijalan yg benar..........................................

Tidak ada komentar:

Komentar Anda

Tulislah dengan kata - kata Sopan

KENANGAN